Khairunnas anfa’uhum linnas, sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaat bagi orang lain

Berusaha bermanfaat bagi orang disekitar, kejayaan Islam, kebangkitan Indonesia dan diri sendiri...

Berusaha bermanfaat bagi orang disekitar, kejayaan Islam, kebangkitan Indonesia dan diri sendiri..

Selasa, 19 Juni 2012

PENDIDIKAN UNTUK DAERAH PERBATASAN BUKANLAH HAL YANG SULIT

PENDIDIKAN UNTUK DAERAH PERBATASAN BUKANLAH HAL YANG SULIT
Astri Septiani

ABSTRAK
Pendidikan adalah kebutuhan, bahkan sudah dianggap kebutuhan primer. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal di daerah 3T. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi kebutuhannya akan pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka ini. Sudah banyak orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan hanya sekedar memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di sana. Cerita-cerita indah nan mengaggumkan banyak terukir di daerah yang belum terjamah kemoderenisasian pendidikan. Beberapa cerita tersebut berasal dari para pengajar muda yang berada di bawah yayasan Indonesia Mengajar asuhan Anis Baswedan.
kata kunci: pendidikan, daerah 3T, pendidik, pengajar muda, Indonesia Mengajar

A.           LATAR BELAKANG


          Pendidikan adalah kebutuhan. Setiap manusia berhak akan pendidikan, hal ini sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan dibutuhkan oleh manusia sebagai salah satu faktor pendukung kehidupannya. "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang."[1] Menurut ayat tersebut pendidikan berguna untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bila tanpa pendidikan maka bisa kita analisis apa yang akan terjadi, bangsa ini akan semakin mengalami krisis iman dan taqwa. Maka dari itu saya menyebutkan bahwa pendidikan adalah sebuah kebutuhan setiap individu. Sebagaimana kita ketahui bahwa kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga, primer, sekunder dan tersier. Zaman dahulu, oleh beberapa kalangann pendidikan masih dikategorikan sebagai kebutuhan tersier, hal mewah yang sulit dijangkau dan kurang penting. Namun, di era modern saat ini, pendidikan sudah menjadi kebutuhan primer manusia. Susah payah para orang tua mencari dana untuk pendidikan anaknya, tak sedikit pula ada orang tua yang mengatakan, “lebih baik saya mah ga makan, daripada anak ga sekolah.” Ini lah kemajuan berpikir manusia menurut saya.
Bukan hal sulit untuk mencari sarana dan prasarana pendidikan di kota-kota besar, Jakarta misalnya. Secara rinci, jumlah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jakarta sebanyak 2.244 buah dengan jumlah peserta didik mencapai 670.599 murid dan SD Swasta sebanyak 753 buah dengan 192.323 murid. Jumlah SMP Negeri yang ada di DKI Jakarta mencapai 306 sekolah dengan 227.722 pelajar dan SMP swasta sebanyak 631 buah dengan jumlah pelajar 135.464 orang. Sementara, jumlah Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) sebanyak 116 buah dengan 91.886 siswa dan SMA Swasta sebanyak 381 buah dengan jumlah siswa 85.731 orang. Tercatat 62 buah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Jakarta dengan jumlah siswa sebanyak 41.830 orang dan SMK Swasta sebanyak 512 buah dengan 157.751 siswa.[2]
Namun, kenyataan tersebut harus diiringi dengan kenyataan pula bahwa pendidikan untuk anak-anak yang ada diperbatasan, baik itu perbatasan provinsi maupun perbatasan negara, jauh dibawah kata layak. Hal ini ditambah lagi dengan kekhwatirang akan status nasionalisme anak-anak di perbatasan Indonesia. Dimana, saat mereka melihat sekolah-sekolah di negeri tetangga jauh lebih baik dengan gedung sekolah yang mereka miliki di daerahnya. Begitu juga dengan sarana lainnya, di perbatasan Malaysia-Indonesia misalnya, siapapun termasuk anak Indonesia yang bersekolah di Malaysia akan mendapatkan sarana berupa laptop per anak, namun dengan sarana memadai tersebut, anak Indonesia harus menjadi anak asuh orang tua di Malaysia.
Hal di atas baru saya kemukakan dari segi sarana, bagaimana dengan guru, seorang pendidik, pahlawan tanpa tanda jasa. Yang saya ketahui bahwa pahlawan  adalah mereka yang tulus ikhlas mengorbankan dirinya untuk kemerdekaan dan kesejahteraan negerinya. Hidup memang pilihan, tetap pilihan tersebut kembali pada pribadinya masing-masing. Ada guru yang memutuskan untuk tetap menjadi pengajar di kota dengan berbagai alasan, dari segi upah yang diterima, kondisi lingkungan dan merawat keluarga. Namun, ada pula mereka yang terketuk pintu hatinya, untuk menjadi seorang guru di perbatasan. Mendermakan hidup untuk menunaikan salah satu janji kemerdekaan bangsa ini, mencerdaskan anak bangsa, mencerdaskan anak-anak di perbatasan yang belum terjamah dengan sarana prasarana pendidikan yang layak seperti di kota-kota besar. Namun, bukan maksud saya bahwa mereka yang menjadi guru di kota besar tidak terketuk pintu hatinya, tapi sekali lagi ini adalah sebuah pilihan hidup.
Berarti dalam hal ini, pendidikan untuk perbatasan bukan lagi hal yang sulit, sulit memang, namun dapat diupayakan. Namun, bagaimana mengupayakannya? Adakah kisah-kisah atau pengalaman-pengalaman luar biasa dari mereka yang telah mengupayakannya?

B.            PEMBAHASAN
Guru adalah profesi mulia. Profesi yang dilandasi oleh rasa cinta, cinta untuk menjadikan anak didiknya sebagai anak kebanggaan bangsa, yang dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan pada negara dan agamanya. Akan tetapi, perjalanan para guru untuk meraih tujuan besarnya tak semulus yang diharapkan. Banyak hambatan yang mereka hadapai. Pergolakan batin dari diri mereka terkadang menjadi hal berat yang harus terlewati. Mereka ingin mengabdi secara total untuk pendidikan bangsa, namun dilain sisi mereka juga harus mengurusi keluarga dan merawat serta mendidik anaknya. Sejumlah persoalan lainnya adalah keluhan akan kesejahteraan para guru, juga dengan kesenjangan yang dirasakan guru yang mengajar di kota dengan di non perkotaan.
Daerah terluar, terdepan dan tertinggal (daerah 3T) adalah daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Minimnya sarana serta prasarana serta letak geografis adalah masalah yang muncul dari daerah ini. Sangat sedikit, dari para guru untuk hadir di sana. Untuk mereka yang telah di sana pun masih harus menelan pil pahit, menahan “kecemburuan” dengan negeri tetangga, yang letaknya tak jauh dan terlihat jelas dari tempat mereka mengajar. Para guru Malaysia perbatasan misalnya, mereka sangat mendapatkan jaminan dari negaranya, difasilitasi secara layak dan diperlakukan adil dengan daerah lainnya. Sehingga, pendidikan yang berkualitas dapat terlaksana.
Seorang guru SMAN Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Agustinus mengungkapkan, sekolah tempatnya mengajar hanya berjarak sekitar 100 meter dari batas negara Indonesia dan Malaysia.  “Negara tetangga jauh lebih baik dan menjanjikan. Sementara fasilitas yang kami terima sangat terbatas, buku penunjang yang minim, dan ada juga sekolah yang harus meminta listrik dari negara tetangga,” kata Agustinus. Ia menambahkan, dari sisi kesejahteraan, guru-guru di daerah perbatasan juga sangat memprihatinkan. Tunjangan yang diberikan oleh pemerintah melalui tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru daerah perbatasan masih bias dan tidak jelas. Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring Kencana. Dan hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut. “Maka tak heran jika ada anak-anak yang kemudian sekolah ke Malaysia. Selain menjanjikan, tamatan SMA di sana juga mendapatkan sertifikat life skill dan bisa kerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan,” kata Agustinus.[3]
Anak didik sudah tersedia di daerah 3T. Yang mereka butuhkan saat ini adalah adanya pendidik, pendidik yang dapat mendidik mereka dengan kuantitas dan kualitas yang memadai. Tidak terlalu penting dengan adanya sarana serta prasarana, karena menurut mereka dengan adanya guru sudah lebih dari cukup untuk membantu mereka belajar.
          Mengajar di daerah 3T menjadi hal mudah untuk menjadikannya berkualitas jikalau yang mengajar adalah guru atau mereka yang paham dengan pendidikan. Kriteria ini dapat dengan mudah dipenuhi oleh para pemuda, karena mereka mendapat pengajaran lebih dibandingkan guru dizaman dahulu. Seperti pepatah yang sering kita dengar “saatnya yang muda yang berkarya.”
Ya, memang saatnya kami yang muda yang berkarya, berbuat baik pada nusa bangsa, melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan anak bangsa. Perguruan-perguruan tinggi yang lokasinya berada di dekat daerah 3T sudah mulai menugaskan mahasiswanya untuk kuliah lapangan di daerah 3T tersebut.
Universitas Pertahanan (Unhan) akan mewajibkan mahasiswanya mengikuti kuliah kerja dalam negeri (KKDN) di wilayah-wilayah perbatasan. Langkah ini dilakukan untuk memperkuat program pembangunan di perbatasan, baik dari segi pendidikan maupun pertahanan. Wakil Rektor Unhan Mayjen TNI (Mar) Syaiful Anwar mengatakan, setiap program studi di Unhan mewajibkan tiap mahasiswa pascasarjana untuk mengikuti kuliah kerja luar negeri (KKLN) dan KKDN. Untuk KKDN difokuskan di wilayah perbatasan sekaligus sebagai bentuk pengabdian masyarakat. “Mereka melakukan penelitian ke masyarakat di perbatasan. Diharapkan, hasil temuan mereka di lapangan bisa bermanfaat dalam konteks akademik maupun sebagai masukan ke pemegang kebijakan,” kata Syaiful di selasela seminar internasional pertama bertema “Pendidikan Berkualitas dan Terjangkau” di Jakarta.[4]
Universitas Pertahanan sudah difasilitasi oleh rektornya, bagaimana dengan kita yang belum terfasilitasi akan hal itu. Apakah kita hanya berpangku tangan dengan keterbatasan yang sebenarnya dapat diperjuangkan ini? Tentu saja  jawabannya tidak. Bila kita takut untuk memulainya dengan ujuk-ujuk atau tiba-tiba pergi ke sana sendiri, kita dapat melirik Yayasan Indonesia Mengajar yang berada dibawah asuhan Anis Baswedan.
Yayasan Indonesia Mengajar mengirimkan lima puluh satu putra-putri terbaik bangsa pada angkatan pertamanya. Memang putra-putri yang terbaik yang diambil, karena tujuan Gerakan Indonesia Mengajar yang sering Pak Anis katakan adalah meletakkan yang terbaik agar tumbuh lagi yang terbaik.
Sejak Gerakan Indonesia Mengajar diumumkan pada Mei 2010, kita seakan ditunjukkan dengan wajah lain tentang anak-anak muda Indonesia. Sejak awal sudah jelas-jelas dinyatakan bahwa kegiatan ini akan menempatkan anak-anak muda di pelosok negeri, yang sebagian besar belum terjamah listrik ataupun sinyal telepon seluler. Tetapi tantangan ini justru dijawab secara kolosal. Ada 1.383 anak muda menyatakan siap untuk jadi guru di daerah terpencil. Mereka menulis esai yang sangat menggugah. Mereka beberkan segala alasan mengapa mereka siap, mereka sanggup, dan mereka ingin sekali menjadi guru di pelosok negeri. Mereka seakan menuliskan: Indonesia, aku ingin mengajar. Kami tertegun![5]
Anak-anak muda yang sudah terlanjur terlabelkan negatif oleh masyarakat, sebagai mereka yang sedang menikmati kebebasan serta tidak peduli lingkungan, terbantahkan seketika oleh kenyataan tersebut. Mereka yang seolah-olah mengatakan “Indonesia, aku ingin mengajar.” Padahal sebagian besar dari mereka bukanlah mahasiswa dengan gelar sarjana kependidikan, namun mereka siap untuk mendidik dengan aturan pendidikan yang sesuai dan yang mereka pahami. Mereka telah membuktikan dengan hadir di daerah-daerah yang tergolong 3T ataupun terpencil, seperti di Bengkalis Riau, Paser Kalimantan Timur, Majene Sulawesi Barat, Halmahera Selatan dan lain sebagainya.     

       Berbagai cerita dituliskan oleh para pengajar muda, ada beberapa yang diabadikan dalam buku Indonesia Mengajar ada pula yang mereka tulis di blog-blog pribadinya sebagai bahan pembelajaran bagi kawannya yang lain. Cerita mereka sangat variatif. Seperti pengalaman seorang pengajar muda di Halmahera Selatan berikut.
          Ada seorang anak di Halmahera Selatan yang dijuluki “anak berbahasa angka” oleh pengajar muda disana, karena anak tersebut sangat pandai hitung-hitungan, dia memiliki trik untuk berhitung cepat, dengan gaya dia sendiri. Ini sungguh mengagumkan, yang sering kita tahu di pelosok adalah daerah dimana mereka yang  sedikit terbelakang dalam pengetahuan, ternyata ada Upi, nama anak berbahasa angka ini, yang pandai berhitung cepat.
          Ada lagi seorang anak yang bernama Rizki Ramlan, dia dari Tamaluppu, sebuah tempat yang lebih terpencil dari Passau yang sudah terpencil di Majene, Sulawesi Barat. Keinginannya untuk belajar sungguh mengharukan seorang pengajar muda di sana, Erwin Puspaningtyas Irjayanti. Keinginannya untuk tahu semua pengetahuan sangat besar, namun hal ini terhambat dengan sifat pemalunya. Bahkan untuk bertanya dengan gurunya saja dia malu untuk berbicara langsung, seringnya ia mengirimkan surat kecil yang digumpalkan dan dilemparkan lewat jendela. Pernah disalah satu surat kecilnya Rizki bertanya, “Kapan Tamaluppu akan mengalami musim salju seperti di Amerika?”[6]
          Keajaiban-keajaiban yang ditemukan oleh para pengajar muda tak lain juga berkat keikhlasan mereka dalam mengajar. Mengajar sepenuh hati untuk kebaikan para anak didik disana. “When we do the best that we can, we never know what miracle is wrought in our life, or in the life of another.”[7]
          Itu hanya sebagian kecil dari pengalaman-pengalaman para pengajar muda dari buku yang saya baca, itu baru halaman-halaman awal, mungkin di halaman selanjutnya akan semakin bertambah rasa ingin kita untuk mengajar di sana.
          Para pengajar muda mengemban kewajiban untuk mendidik adik-adik yang belum mendapatkan pendidikan berkualitas dari pemerintah. Mengajar dengan hati nurani dan keinginan untuk mencerdaskan anak bangsa. Berusaha maksimal dengan segala keterbatasan yang ada. Berusaha memaksimalkan kualitas diri agar dapat mendidik anak-anak di sana dengan cara yang terbaik. Menanamkan rasa nasionalisme dalam diri mereka dengan dilandasi keimanan dan ketakwaan. Seperti misalnya pengaplikasian belajar yang benar pada pelajaran IPS.
         Pendidikan IPS di sekolah dasar seharusnya membuahkan hasil belajar berupa perubahan pengetahuan, dan keterampilan yang sejalan dengan tujuan kelembagaan sekolah dasar. Sebagaimana dijelaskan dalam Kurikulum 1994, bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar bertujuan: (1) mendidik siswa agar  menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu membangun dirinya sendiri serta ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa; (2) memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi; dan (3) memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya (Depdikbud, 1994).[8]
          Izinkan anak-anak SD di pelosok itu mencintai, meraih inspirasi, dan
berbinar menyaksikan kehadiranmu. Setelah selesai program ini maka label Pengajar Muda akan menempel seumur hidup. Anak-anak muda ini kenal dan menjadi bagian dari rakyat jelata. Anak-anak muda berprestasi ini pernah hidup bersama mereka di pelosok sana, dan yang terpenting adalah sebagai anak muda mereka telah ikut sekecil apapun mendorong kemajuan, mengubah masa depan saudara-saudara sebangsanya jadi lebih cerah. Jejak Pengajar Muda di desa-desa terpencil itu akan dicatat dengan pahala, akan di tandai dengan peluk persaudaraan dan bersemai dikenangan anak-anak desa hingga generasi mendatang. Kelak, setiap anak-anak ituberhasil meraih mimpinya, maka pahala Pengajar Muda selalu ada di dalamnya.[9]
          Daerah penempatan Pengajar Muda dapat dilihat pada tabel di halaman selanjutnya. Daerah tersebut tersebar di lima belas provinsi di Indonesia yang terdiri dari 16 kabupaten yang diperkirakan membutuhkan penanganan lebih dari para Pengajar Muda. (Tabel 1)

C.           KESIMPULAN
          Pendidikan adalah kebutuhan primer di era modern ini. Setiap orang berhak akan pendidikan, hal ini sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pendidikan adalah kebutuhan, bahkan sudah dianggap kebutuhan primer. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal di daerah 3T, terluar, terdepan dan tertinggal. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi kebutuhannya akan pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka ini. Sudah banyak orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan hanya sekedar memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di sana. Cerita-cerita indah nan mengaggumkan banyak terukir di daerah yang belum terjamah kemoderenisasian pendidikan. Beberapa cerita tersebut berasal dari para pengajar muda yang berada di hanyalah salah satu cara untuk mendermakan diri di sana, masih banyak dan beragam cara yang dapat kita lakukan untuk membantu
Tabel 1. Daerah Penempatan Pengajar Muda
No
Provinsi
Kabupaten
1
Nanggroe Aceh Darussalam
Aceh Utara
2
Riau
Bengkalis
3
Sumatera Selatan
Musi Banyuasin
4
Sumatera Selatan
Muara Enimn
5
Lampung
Tulang Bawang Barat
6
Banten
Lebak
7
Jawa Timur
Pulau Bawean, Gresik
8
Nusa Tenggara Barat
Bima
9
Nusa Tenggara Timur
Rote Ndao
10
Maluku
Maluku Tenggara Barat
11
Papua Barat
Fakfak
12
Maluku Utara
Halmahera Selatan
13
Sulawesi Utara
Kepulauan Sangihe
14
Sulawesi Barat
Majene
15
Kalimantan Timur
Paser
16
Kalimantan Barat
Kapuas Hulu
Sumber: https://indonesiamengajar.org/tentang-pengajar-muda/daerah-penempatan/

mereka. Membantu  memenuhi hak mereka yang belum terpenuhi oleh janji pemerintah yang padahal mencerdaskan anak bangsa, tanpa terkecuali adalah janji kemerdekaan. Saat janji ini belum terpenuhi, apakah pantas kita dianggap sudah merdeka. Semoga hal ini menjadi renungan bagi semua kalangan, terutama bagi mereka yang dapat berperan langsung.
     
DAFTAR PUSTAKA
Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para                                          Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. ppx-7
Sadali. (2001). “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Role Playing terhadap  Aktifitas Guru dan Hasil Belajar Dalam Mata Pelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar”. [ON LINE] Tersedia: http://www.lppm.ut.ac.id/jp/Volume%202.1%20maret%202001/pengaruhpenerapanmodel_sadali.pdf . pp1-15. Diakses 30 Mei 2011. 22.25 WIB
Anonim. 2009. "Jumlah Sekolah di Jakarta Kini 5.005 Sekolah”. [ON LINE] Tersedia: http://disdikdki.net/news.php?cat=1&id=122. Diakses 28 Mei 2012.  20.17 WIB
Rizki Dewantoro. 2011. “Nasib Pendidikan Perbatasan Indonesia-Malaysia”. [ON LINE]. Tersedia:   http://diperbatasanindonesia.blogspot.com/2011/12/nasib-pendidikan-perbatasan-indonesia.html. Diakses 28 Mei 2012. 20.44 WIB
Anonim. 2012. “Mahasiswa Unhan Wajib Turun ke Perbatasan”. Tersedia: http://www.sospol.dharmawangsa.ac.id/berita-1046-mahasiswa-unhan-wajib-turun-ke-perbatasan.html. Diakses 30 Mei 2012. 22.35 WIB
Daerah Penempatan Pengajar Muda”. [ON LINE]. Tersedia: https://indonesiamengajar.org/tentang-pengajar-muda/daerah-penempatan/. Diakses 30 Mei 2012. 22.00 WIB 

Indonesia Mengajar. Tersedia: https://indonesiamengajar.org/media/uploads/images/PM1-RahmanAdi-Ngajar.jpg. Diakses 30 Mei 2012. 21.15







[1] Undang-Undang Dasar 1945 (versi amandemen) Pasal 31 ayat 3
[2]Anonim. 2009. "Jumlah Sekolah di Jakarta Kini 5.005 Sekolah”. [ON LINE] Tersedia:  http://disdikdki.net/news.php?cat=1&id=122. Diakses 28 Mei 2012.  20.17 WIB
[3]Rizki Dewantoro. 2011. “Nasib Pendidikan Perbatasan Indonesia-Malaysia”. [ON LINE]. Tersedia:   http;//diperbatasanindonesia.blogspot.com/2011/12/nasib-pendidikan-perbatasan-indonesia.html. Diakses 28 Mei 2012. 20.44 WIB
[4]Anonim. 2012. “Mahasiswa Unhan Wajib Turun ke Perbatasan”. Tersedia: http://www.sospol.dharmawangsa.ac.id/berita-1046-mahasiswa-unhan-wajib-turun-ke-perbatasan.html. Diakses 30 Mei 2012. 22.35 WIB
[5] Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. px
[6] Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. p7
[7] Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. p7
[8]Sadali. (2001). “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Role Playing terhadap Aktifitas Guru dan Hasil Belajar Dalam Mata Pelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar”. [ON LINE] Tersedia: http://www.lppm.ut.ac.id/jp/Volume%202.1%20maret%202001/pengaruhpenerapanmodel_sadali.pdf . pp1-15. Diakses 30 Mei 2011. 22.25 WIB
[9] Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. pxii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar