PENDIDIKAN UNTUK DAERAH
PERBATASAN BUKANLAH HAL YANG SULIT
Astri
Septiani
ABSTRAK
Pendidikan adalah kebutuhan, bahkan sudah dianggap
kebutuhan primer. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal
di daerah 3T. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi kebutuhannya akan
pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka ini. Sudah banyak
orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan hanya sekedar
memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di sana.
Cerita-cerita indah nan mengaggumkan banyak terukir di daerah yang belum
terjamah kemoderenisasian pendidikan. Beberapa cerita tersebut berasal dari
para pengajar muda yang berada di bawah yayasan Indonesia Mengajar asuhan Anis
Baswedan.
kata kunci: pendidikan, daerah 3T, pendidik, pengajar
muda, Indonesia Mengajar
A.
LATAR
BELAKANG
|
Bukan
hal sulit untuk mencari sarana dan prasarana pendidikan di kota-kota besar,
Jakarta misalnya. Secara rinci, jumlah Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Jakarta
sebanyak 2.244 buah dengan jumlah peserta didik mencapai 670.599 murid dan SD
Swasta sebanyak 753 buah dengan 192.323 murid. Jumlah SMP Negeri yang ada di
DKI Jakarta mencapai 306 sekolah dengan 227.722 pelajar dan SMP swasta sebanyak
631 buah dengan jumlah pelajar 135.464 orang. Sementara, jumlah Sekolah
Menengah Atas Negeri (SMAN) sebanyak 116 buah dengan 91.886 siswa dan SMA
Swasta sebanyak 381 buah dengan jumlah siswa 85.731 orang. Tercatat 62 buah
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Jakarta dengan jumlah siswa sebanyak
41.830 orang dan SMK Swasta sebanyak 512 buah dengan 157.751 siswa.[2]
Namun,
kenyataan tersebut harus diiringi dengan kenyataan pula bahwa pendidikan untuk
anak-anak yang ada diperbatasan, baik itu perbatasan provinsi maupun perbatasan
negara, jauh dibawah kata layak. Hal ini ditambah lagi dengan kekhwatirang akan
status nasionalisme anak-anak di perbatasan Indonesia. Dimana, saat mereka
melihat sekolah-sekolah di negeri tetangga jauh lebih baik dengan gedung
sekolah yang mereka miliki di daerahnya. Begitu juga dengan sarana lainnya, di
perbatasan Malaysia-Indonesia misalnya, siapapun termasuk anak Indonesia yang
bersekolah di Malaysia akan mendapatkan sarana berupa laptop per anak, namun
dengan sarana memadai tersebut, anak Indonesia harus menjadi anak asuh orang
tua di Malaysia.
Hal
di atas baru saya kemukakan dari segi sarana, bagaimana dengan guru, seorang
pendidik, pahlawan tanpa tanda jasa. Yang saya ketahui bahwa pahlawan adalah mereka yang tulus ikhlas mengorbankan
dirinya untuk kemerdekaan dan kesejahteraan negerinya. Hidup memang pilihan,
tetap pilihan tersebut kembali pada pribadinya masing-masing. Ada guru yang
memutuskan untuk tetap menjadi pengajar
di kota dengan berbagai alasan, dari segi upah yang diterima, kondisi
lingkungan dan merawat keluarga. Namun, ada pula mereka yang terketuk pintu
hatinya, untuk menjadi seorang guru di perbatasan. Mendermakan hidup untuk
menunaikan salah satu janji kemerdekaan bangsa ini, mencerdaskan anak bangsa,
mencerdaskan anak-anak di perbatasan yang belum terjamah dengan sarana
prasarana pendidikan yang layak seperti di kota-kota besar. Namun, bukan maksud
saya bahwa mereka yang menjadi guru di kota besar tidak terketuk pintu hatinya,
tapi sekali lagi ini adalah sebuah pilihan hidup.
Berarti
dalam hal ini, pendidikan untuk perbatasan bukan lagi hal yang sulit, sulit
memang, namun dapat diupayakan. Namun, bagaimana mengupayakannya? Adakah
kisah-kisah atau pengalaman-pengalaman luar biasa dari mereka yang telah
mengupayakannya?
B. PEMBAHASAN
Guru
adalah profesi mulia. Profesi yang dilandasi oleh rasa cinta, cinta untuk
menjadikan anak didiknya sebagai anak kebanggaan bangsa, yang dapat bertanggung
jawab pada dirinya sendiri dan pada negara dan agamanya. Akan tetapi,
perjalanan para guru untuk meraih tujuan besarnya tak semulus yang diharapkan.
Banyak hambatan yang mereka hadapai. Pergolakan batin dari diri mereka
terkadang menjadi hal berat yang harus terlewati. Mereka ingin mengabdi secara
total untuk pendidikan bangsa, namun dilain sisi mereka juga harus mengurusi
keluarga dan merawat serta mendidik anaknya. Sejumlah persoalan lainnya adalah
keluhan akan kesejahteraan para guru, juga dengan kesenjangan yang dirasakan
guru yang mengajar di kota dengan di non perkotaan.
Daerah
terluar, terdepan dan tertinggal (daerah 3T) adalah daerah-daerah yang
berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia. Minimnya
sarana serta prasarana serta letak geografis adalah masalah yang muncul dari
daerah ini. Sangat sedikit, dari para guru untuk hadir di sana. Untuk mereka
yang telah di sana pun masih harus menelan pil pahit, menahan “kecemburuan”
dengan negeri tetangga, yang letaknya tak jauh dan terlihat jelas dari tempat
mereka mengajar. Para guru Malaysia perbatasan misalnya, mereka sangat
mendapatkan jaminan dari negaranya, difasilitasi secara layak dan diperlakukan
adil dengan daerah lainnya. Sehingga, pendidikan yang berkualitas dapat
terlaksana.
Seorang
guru SMAN Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Agustinus
mengungkapkan, sekolah tempatnya mengajar hanya berjarak sekitar 100 meter dari
batas negara Indonesia dan Malaysia.
“Negara tetangga jauh lebih baik dan menjanjikan. Sementara fasilitas
yang kami terima sangat terbatas, buku penunjang yang minim, dan ada juga
sekolah yang harus meminta listrik dari negara tetangga,” kata Agustinus. Ia
menambahkan, dari sisi kesejahteraan, guru-guru di daerah perbatasan juga
sangat memprihatinkan. Tunjangan yang diberikan oleh pemerintah melalui
tunjangan profesi dan tunjangan khusus guru daerah perbatasan masih bias dan
tidak jelas. Di Kampas Hulu terdapat tiga kecamatan yang berbatasan langsung
dengan Malaysia, yaitu Kecamatan Badau, Kecamatan Empana, dan Kecamatan Puring
Kencana. Dan hanya ada satu SMA di tiga kecamatan tersebut. “Maka tak heran
jika ada anak-anak yang kemudian sekolah ke Malaysia. Selain menjanjikan,
tamatan SMA di sana juga mendapatkan sertifikat life skill dan
bisa kerja di Malaysia dengan gaji yang lumayan,” kata Agustinus.[3]
Anak
didik sudah tersedia di daerah 3T. Yang mereka butuhkan saat ini adalah adanya
pendidik, pendidik yang dapat mendidik mereka dengan kuantitas dan kualitas
yang memadai. Tidak terlalu penting dengan adanya sarana serta prasarana,
karena menurut mereka dengan adanya guru sudah lebih dari cukup untuk membantu
mereka belajar.
Mengajar di daerah 3T menjadi hal
mudah untuk menjadikannya berkualitas jikalau yang mengajar adalah guru atau
mereka yang paham dengan pendidikan. Kriteria ini dapat dengan mudah dipenuhi
oleh para pemuda, karena mereka mendapat pengajaran lebih dibandingkan guru
dizaman dahulu. Seperti pepatah yang sering kita dengar “saatnya yang muda yang
berkarya.”
Ya,
memang saatnya kami yang muda yang berkarya, berbuat baik pada nusa bangsa,
melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan anak bangsa. Perguruan-perguruan
tinggi yang lokasinya berada di dekat daerah 3T sudah mulai menugaskan
mahasiswanya untuk kuliah lapangan di daerah 3T tersebut.
Universitas
Pertahanan (Unhan) akan mewajibkan mahasiswanya mengikuti kuliah kerja dalam
negeri (KKDN) di wilayah-wilayah perbatasan. Langkah ini dilakukan untuk
memperkuat program pembangunan di perbatasan, baik dari segi pendidikan maupun
pertahanan. Wakil Rektor Unhan Mayjen TNI (Mar) Syaiful Anwar mengatakan,
setiap program studi di Unhan mewajibkan tiap mahasiswa pascasarjana untuk
mengikuti kuliah kerja luar negeri (KKLN) dan KKDN. Untuk KKDN difokuskan di
wilayah perbatasan sekaligus sebagai bentuk pengabdian masyarakat. “Mereka
melakukan penelitian ke masyarakat di perbatasan. Diharapkan, hasil temuan
mereka di lapangan bisa bermanfaat dalam konteks akademik maupun sebagai
masukan ke pemegang kebijakan,” kata Syaiful di selasela seminar internasional
pertama bertema “Pendidikan Berkualitas dan Terjangkau” di Jakarta.[4]
Universitas
Pertahanan sudah difasilitasi oleh rektornya, bagaimana dengan kita yang belum
terfasilitasi akan hal itu. Apakah kita hanya berpangku tangan dengan
keterbatasan yang sebenarnya dapat diperjuangkan ini? Tentu saja jawabannya tidak. Bila kita takut untuk
memulainya dengan ujuk-ujuk atau
tiba-tiba pergi ke sana sendiri, kita dapat
melirik Yayasan Indonesia Mengajar yang berada dibawah asuhan Anis Baswedan.
Yayasan
Indonesia Mengajar mengirimkan lima puluh satu putra-putri terbaik bangsa pada
angkatan pertamanya. Memang putra-putri yang terbaik yang diambil, karena
tujuan Gerakan Indonesia Mengajar yang sering Pak Anis katakan adalah
meletakkan yang terbaik agar tumbuh lagi yang terbaik.
Sejak
Gerakan Indonesia Mengajar diumumkan pada Mei 2010, kita seakan ditunjukkan
dengan wajah lain tentang anak-anak muda Indonesia. Sejak awal sudah jelas-jelas
dinyatakan bahwa kegiatan ini akan menempatkan anak-anak muda di pelosok
negeri, yang sebagian besar belum terjamah listrik ataupun sinyal telepon
seluler. Tetapi tantangan ini justru dijawab secara kolosal. Ada 1.383 anak
muda menyatakan siap untuk jadi guru di daerah terpencil. Mereka menulis esai
yang sangat menggugah. Mereka beberkan segala alasan mengapa mereka siap,
mereka sanggup, dan mereka ingin sekali menjadi guru di pelosok negeri. Mereka
seakan menuliskan: Indonesia, aku ingin mengajar. Kami tertegun![5]
Anak-anak muda yang sudah terlanjur
terlabelkan negatif oleh masyarakat, sebagai mereka yang sedang menikmati
kebebasan serta tidak peduli lingkungan, terbantahkan seketika oleh kenyataan
tersebut. Mereka yang seolah-olah mengatakan “Indonesia, aku ingin mengajar.”
Padahal sebagian besar dari mereka bukanlah mahasiswa dengan gelar sarjana
kependidikan, namun mereka siap untuk mendidik dengan aturan pendidikan yang
sesuai dan yang mereka pahami. Mereka telah membuktikan dengan hadir di
daerah-daerah yang tergolong 3T ataupun terpencil, seperti di Bengkalis Riau,
Paser Kalimantan Timur, Majene Sulawesi Barat, Halmahera Selatan dan lain
sebagainya.
Berbagai cerita dituliskan oleh para
pengajar muda, ada beberapa yang diabadikan dalam buku Indonesia Mengajar ada
pula yang mereka tulis di blog-blog pribadinya sebagai bahan pembelajaran bagi
kawannya yang lain. Cerita mereka sangat variatif. Seperti pengalaman seorang
pengajar muda di Halmahera Selatan berikut.
Ada
seorang anak di Halmahera Selatan yang dijuluki “anak berbahasa angka” oleh
pengajar muda disana, karena anak tersebut sangat pandai hitung-hitungan, dia
memiliki trik untuk berhitung cepat, dengan gaya dia sendiri. Ini sungguh
mengagumkan, yang sering kita tahu di pelosok adalah daerah dimana mereka yang sedikit terbelakang dalam pengetahuan,
ternyata ada Upi, nama anak berbahasa angka ini, yang pandai berhitung cepat.
Ada
lagi seorang anak yang bernama Rizki Ramlan, dia dari Tamaluppu, sebuah tempat
yang lebih terpencil dari Passau yang sudah terpencil di Majene, Sulawesi
Barat. Keinginannya untuk belajar sungguh mengharukan seorang pengajar muda di
sana, Erwin Puspaningtyas Irjayanti. Keinginannya untuk tahu semua pengetahuan
sangat besar, namun hal ini terhambat dengan sifat pemalunya. Bahkan untuk
bertanya dengan gurunya saja dia malu untuk berbicara langsung, seringnya ia
mengirimkan surat kecil yang digumpalkan dan dilemparkan lewat jendela. Pernah
disalah satu surat kecilnya Rizki bertanya, “Kapan Tamaluppu akan mengalami
musim salju seperti di Amerika?”[6]
Keajaiban-keajaiban
yang ditemukan oleh para pengajar muda tak lain juga berkat keikhlasan mereka
dalam mengajar. Mengajar sepenuh hati untuk kebaikan para anak didik disana. “When we do the best that we can, we never
know what miracle is wrought in our life, or in the life of another.”[7]
Itu
hanya sebagian kecil dari pengalaman-pengalaman para pengajar muda dari buku
yang saya baca, itu baru halaman-halaman awal, mungkin di halaman selanjutnya
akan semakin bertambah rasa ingin kita untuk mengajar di sana.
Para
pengajar muda mengemban kewajiban untuk mendidik adik-adik yang belum
mendapatkan pendidikan berkualitas dari pemerintah. Mengajar dengan hati nurani
dan keinginan untuk mencerdaskan anak bangsa. Berusaha maksimal dengan segala
keterbatasan yang ada. Berusaha memaksimalkan kualitas diri agar dapat mendidik
anak-anak di sana dengan cara yang terbaik. Menanamkan rasa nasionalisme dalam
diri mereka dengan dilandasi keimanan dan ketakwaan. Seperti misalnya
pengaplikasian belajar yang benar pada pelajaran IPS.
Pendidikan IPS di sekolah dasar seharusnya membuahkan
hasil belajar berupa perubahan pengetahuan, dan keterampilan yang sejalan
dengan tujuan kelembagaan sekolah dasar. Sebagaimana dijelaskan dalam Kurikulum
1994, bahwa penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar bertujuan: (1) mendidik
siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu membangun
dirinya sendiri serta ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa; (2)
memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan
ketingkat yang lebih tinggi; dan (3) memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan
mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya
(Depdikbud, 1994).[8]
Izinkan anak-anak SD di
pelosok itu mencintai, meraih inspirasi, dan
berbinar menyaksikan kehadiranmu.
Setelah selesai program ini maka label Pengajar Muda akan menempel seumur
hidup. Anak-anak muda ini kenal dan menjadi bagian dari rakyat jelata.
Anak-anak muda berprestasi ini pernah hidup bersama mereka di pelosok sana, dan
yang terpenting adalah sebagai anak muda mereka telah ikut sekecil apapun
mendorong kemajuan, mengubah masa depan saudara-saudara sebangsanya jadi lebih
cerah. Jejak Pengajar Muda di desa-desa terpencil itu akan dicatat dengan
pahala, akan di tandai dengan peluk persaudaraan dan bersemai dikenangan
anak-anak desa hingga generasi mendatang. Kelak, setiap
anak-anak ituberhasil meraih mimpinya, maka pahala Pengajar Muda selalu ada di
dalamnya.[9]
Daerah
penempatan Pengajar Muda dapat dilihat pada tabel di halaman selanjutnya. Daerah
tersebut tersebar di lima belas provinsi di Indonesia yang terdiri dari 16
kabupaten yang diperkirakan membutuhkan penanganan lebih dari para Pengajar
Muda. (Tabel 1)
C.
KESIMPULAN
Pendidikan adalah kebutuhan primer di era modern ini.
Setiap orang berhak akan pendidikan, hal ini sudah dijamin oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Pendidikan adalah kebutuhan, bahkan sudah dianggap kebutuhan
primer. Semua kalangan membutuhkannya, termasuk mereka yang tinggal di daerah
3T, terluar, terdepan dan tertinggal. Mereka butuh pendidik untuk memenuhi
kebutuhannya akan pendidikan. Bukan hal sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka
ini. Sudah banyak orang di Indonesia yang memenuhi kebutuhan mereka atau bahkan
hanya sekedar memikirkan dan mendermakan sedikit hartanya untuk pendidikan di
sana. Cerita-cerita indah nan mengaggumkan banyak terukir di daerah yang belum
terjamah kemoderenisasian pendidikan. Beberapa cerita tersebut berasal dari
para pengajar muda yang berada di hanyalah salah satu cara untuk mendermakan
diri di sana, masih banyak dan beragam cara yang dapat kita lakukan untuk
membantu
Tabel 1. Daerah
Penempatan Pengajar Muda
No
|
Provinsi
|
Kabupaten
|
1
|
Nanggroe Aceh Darussalam
|
Aceh Utara
|
2
|
Riau
|
Bengkalis
|
3
|
Sumatera Selatan
|
Musi Banyuasin
|
4
|
Sumatera Selatan
|
Muara Enimn
|
5
|
Lampung
|
Tulang Bawang Barat
|
6
|
Banten
|
Lebak
|
7
|
Jawa Timur
|
Pulau Bawean, Gresik
|
8
|
Nusa Tenggara Barat
|
Bima
|
9
|
Nusa Tenggara Timur
|
Rote Ndao
|
10
|
Maluku
|
Maluku Tenggara Barat
|
11
|
Papua Barat
|
Fakfak
|
12
|
Maluku Utara
|
Halmahera Selatan
|
13
|
Sulawesi Utara
|
Kepulauan Sangihe
|
14
|
Sulawesi Barat
|
Majene
|
15
|
Kalimantan Timur
|
Paser
|
16
|
Kalimantan Barat
|
Kapuas Hulu
|
Sumber: https://indonesiamengajar.org/tentang-pengajar-muda/daerah-penempatan/
mereka. Membantu memenuhi hak mereka yang belum terpenuhi oleh
janji pemerintah yang padahal mencerdaskan anak bangsa, tanpa terkecuali adalah
janji kemerdekaan. Saat janji ini belum terpenuhi, apakah pantas kita dianggap
sudah merdeka. Semoga hal ini menjadi renungan bagi semua kalangan, terutama
bagi mereka yang dapat berperan langsung.
DAFTAR
PUSTAKA
Ikhdah Henny & Retno Widyastuti, (ed). 2012. Indonesia Mengajar, Kisah para Pengajar
Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. ppx-7
Sadali. (2001). “Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Role Playing terhadap Aktifitas Guru dan Hasil Belajar Dalam Mata
Pelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar”. [ON LINE] Tersedia: http://www.lppm.ut.ac.id/jp/Volume%202.1%20maret%202001/pengaruhpenerapanmodel_sadali.pdf
. pp1-15. Diakses 30 Mei 2011. 22.25 WIB
Anonim. 2009. "Jumlah Sekolah di Jakarta Kini 5.005 Sekolah”. [ON LINE]
Tersedia: http://disdikdki.net/news.php?cat=1&id=122.
Diakses 28 Mei 2012. 20.17 WIB
Rizki Dewantoro. 2011. “Nasib Pendidikan Perbatasan
Indonesia-Malaysia”. [ON LINE]. Tersedia:
http://diperbatasanindonesia.blogspot.com/2011/12/nasib-pendidikan-perbatasan-indonesia.html.
Diakses 28 Mei 2012. 20.44 WIB
Anonim. 2012.
“Mahasiswa Unhan Wajib Turun ke Perbatasan”. Tersedia: http://www.sospol.dharmawangsa.ac.id/berita-1046-mahasiswa-unhan-wajib-turun-ke-perbatasan.html.
Diakses 30 Mei 2012. 22.35 WIB
“Daerah Penempatan Pengajar Muda”. [ON
LINE]. Tersedia: https://indonesiamengajar.org/tentang-pengajar-muda/daerah-penempatan/.
Diakses 30 Mei 2012. 22.00 WIB
Indonesia Mengajar. Tersedia: https://indonesiamengajar.org/media/uploads/images/PM1-RahmanAdi-Ngajar.jpg.
Diakses 30 Mei 2012. 21.15
Jarak Online. Tersedia: http://www.jarrakonline.com/foto_berita/8913019740151893032554.jpg. Diakses 30 Mei 2012. 21.05
[1]
Undang-Undang Dasar 1945
(versi amandemen) Pasal 31 ayat 3
[2]Anonim. 2009. "Jumlah Sekolah di Jakarta Kini 5.005
Sekolah”. [ON LINE] Tersedia: http://disdikdki.net/news.php?cat=1&id=122.
Diakses 28 Mei 2012. 20.17 WIB
[3]Rizki Dewantoro. 2011. “Nasib Pendidikan Perbatasan
Indonesia-Malaysia”. [ON LINE]. Tersedia:
http;//diperbatasanindonesia.blogspot.com/2011/12/nasib-pendidikan-perbatasan-indonesia.html.
Diakses 28 Mei 2012. 20.44 WIB
[4]Anonim. 2012. “Mahasiswa
Unhan Wajib Turun ke Perbatasan”. Tersedia: http://www.sospol.dharmawangsa.ac.id/berita-1046-mahasiswa-unhan-wajib-turun-ke-perbatasan.html.
Diakses 30 Mei 2012. 22.35 WIB
[5] Ikhdah
Henny & Retno Widyastuti, (ed).
2012. Indonesia Mengajar, Kisah para
Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. px
[6] Ikhdah
Henny & Retno Widyastuti, (ed).
2012. Indonesia Mengajar, Kisah para
Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. p7
[7]
Ikhdah
Henny & Retno Widyastuti, (ed).
2012. Indonesia Mengajar, Kisah para
Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. p7
[8]Sadali. (2001). “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Role Playing terhadap
Aktifitas Guru dan Hasil Belajar Dalam Mata Pelajaran Pendidikan IPS di Sekolah
Dasar”. [ON LINE] Tersedia: http://www.lppm.ut.ac.id/jp/Volume%202.1%20maret%202001/pengaruhpenerapanmodel_sadali.pdf
. pp1-15. Diakses 30 Mei 2011. 22.25 WIB
[9] Ikhdah
Henny & Retno Widyastuti, (ed).
2012. Indonesia Mengajar, Kisah para
Pengajar Muda di Pelosok Negeri. Yogyakarta: Penerbit Bentang. pxii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar