Al-Wala’ Wal-Baro’
merupakan penjabaran ciri pribadi muslim yang pertama kali disebutkan, salimul
aqidah. Pengertian secara kata dari Al-Wala’
Wal-Baro’ adalah loyalitas dan antiloyalitas. Terdiri dari dua kata, Al-Wala’ yaitu loyalitas dan Al-Baro’ yaitu antiloyalitas. Kedua kata
ini merupakan suatu kesatuan layaknya dua sisi mata koin yang tak dapat
berpisah dan saling melengkapi.
Konsep Al-Wala’ Wal-Baro’ tercakup dalam
kalimat tauhid, LAA ILLAHA ILLALLAH
(Tiada Tuhan Selain Allah). Kalimat tauhid ini terdiri dari hanya 3 huruf à Alif, Lam
dan Ha. Terbentuk dari 4 kata, dengan
penjelasan sebagai berikut.
1)
Laa artinya
tidak atau penolakkan terhadap sesuatu yang berada di depan setelah kata
tersebut. Makna tidak di sini ditekankan secara keras, menandakan suatu hal
yang tidak dapat ditentang lagi.
2)
Illaha
artinya sesembahan. Karena sebelum kata Illaha
tertulis Laa, maka sesembahan di sini
ditolak keberadaannya, maksudnya menjadi sesembahan yang ditiadakan.
3)
Illa
artinya kecuali.
4)
Allah
artinya Allah, Tuhan seluruh alam.
Konsep Al-Wala’ Wal-Baro’ juga sama seperti
konsep atau makna kalimat syahadat, ASYHADU
AN-LAA ILAAHA ILLALLAAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLAAH (Aku Bersaksi
Tidak Ada Tuhan Selain Allah Dan Aku Bersaksi Bahwa Muhammad Adalah Utusan
Allah). Al-Wala’ dan Al-Baro’ layaknya Asyahdu an-lla Illaha Illallah
dan Asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah, antara kata sebelum dan sesudahnya
memiliki hubungan layaknya dua sisi koin. Saling melengkapi dan memang harus
dilengkapi. Meyakini syahadat harus keseluruhan, begitu juga dengan Al-Wala’
Wal-Baro’.
“Dan sungguhnya Kami
telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka
bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).”
(TQS An-Nahl ayat 36)
-> Inti dakwah Nabi adalah
mengingkari semua sesembahan kecuali Allah Azza Wa Jalla
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar."
(TQS
An-Nisaa ayat 48)
-> Syirik merupakan dosa yang tidak akan diampuni.
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah
(sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi
(dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat
kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
(TQS Muhammad ayat 19)
->Mengapa Salimul Aqidah
dijadikan ciri pribadi muslim yang pertama, ayat ini salah satu landasannya.
Tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.
“Tali ikatan iman yang paling
kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah” (HR. Hakim, dihasankan Al-Albani)”
-> Iman mencapai titik
kesempurnaan saat semua-semuanya adalah karena Allah.
Al-Baro’
Baro’ = pembebasan atau anti
loyalitas. Al-Baro’ mengandung arti
mengingkari, memisahkan diri, membenci dan memerangi terhadap sesuatu selain
Allah.
Contoh
sikap Baro’:
-
Sikap Baro’
ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as terhadap kaumnya. Ketika Ibrahim as
menghancurkan patung-patung berhala kala itu.
-
Tawaran dari kaum kafir quraisy kepada Rasulullah,
agar Rasul menghentikan kegiatan dakwahnya maka beliau akan mendapatkan
kekuasaan. Dan pada akhirnya Rasulullah mengingkarinya
Diferensial
atau turunan dari Al-Baro’ adalah Hadam (penghancuran). Baro’ itu hadam terhadap sekutu-sekutu selain Allah. Contohnya adalah kisah
Nabi Ibrahim as saat menghancurkan patung-patung berhala dan peristiwa fathul
makkah, dimana Rasulullah menghancurkan kurang lebih 360 berhala.
Baro’ membedakan muslim dengan
kafir, membedakan hizbullah dengan hibusyaithon. Orang-orang beriman wajib
mengajak orang-orang kafir dengan dakwah secara hikmah.
Al-Wala’
Al-Wala’ adalah loyalitas kepada
Allah. Pengukuhan terhadap kekuasaan Allah. Selalu menaati, mendekatkan diri,
mencintai sepenuh hati, membela, mendukung dan menolong, yang kesemuannya itu
ditujukan kepada Allah, beserta agama dan hamba-hamba-Nya. Sifat wala’ yang dapat kita lakukan saat ini
adalah wala’ terhadap saudara-saudara
kita di Palestina, Suriah, Mesir (saat revolusi utamanya), Patani, Rohingya,
dsb.
Salah
satu bentuk loyalitas adalah sami’na wa
atho’na (aku dengar dan aku taat). Taat kepada pemimpin yang adil.
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak
membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan,
melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput
dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di
langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu,
melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). Ingatlah, sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.”
(TQS Yunus ayat 61-62)
-> Tidaklah luput
pengetahuan dan pengawasan Allah dari apa yang terjadi pada makhluknya.
Wala’ kepada Allah berarti
selalu mendahulukan Allah, yakinlah akan janjinya pada Surat Muhammad ayat 7,
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Diferensial
atau turunan dari Al-Wala’ yang
pertama adalah Al-Bina (membangun).
Membangun hubungan yang kuat dengan Allah, Rasulullah dan orang-orang yang
beriman, serta sistem dan aktivitas kehidupan muslim.
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan.”
(TQS Al-Hajj ayat 41)
(TQS Al-Hajj ayat 41)
-> Ciri mukmim senantiasa
menegakkan agama Allah
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia
benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan
menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan
sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji)
itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(TQS An-Noor ayat 55)
->Posisi kekhilafahan
Allah peruntukkan bagi manusia yang membangun dinnullah.
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad
yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.”
(TQS Al-Hajj ayat 78)
-> Jihad di jalan Allah
dengan sebenar-benarnya jihad adalah cara paling tepat untuk membangun
dinnullah.
-> Pengertian Jihad dalam Pandangan Islam
Kata Jihad
berasal dari kata Al Jahd (ُالجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang bermakna kelelahan dan kesusahan
atau dari Al Juhd (الجُهْدُ) dengan didhommahkan huruf jimnya yang bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna
mengeluarkan kemampuannya. Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah
orang yang mencapai kelelahan karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang
menjadikannya sebagai cara dan jalan menuju surga. Di balik jihad memerangi
jiwa dan jihad dengan pedang, ada jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan
mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat yang diharamkan. Juga ada jihad
dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi mungkar. [1]
Sedangkan
Ibnu Rusyd (wafat tahun 595 H) menyatakan, “Jihad dengan pedang adalah
memerangi kaum musyrikin atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan
dirinya untuk dzat Allah maka ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata
jihad fi sabilillah bila disebut begitu saja maka tidak dipahami selain untuk
makna memerangi orang kafir dengan pedang sampai masuk islam atau memberikan
upeti dalam keadaan rendah dan hina” [2].
Ibnu
Taimiyah (wafat tahun 728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan, “Jihad
artinya mengerahkan seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai
Allah dan menolak yang dibenci Allah” [3].
Di tempat
lainnya, beliau rahimahullah
juga menyatakan, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh mencapai sesuatu
yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci
Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan” [4].
Tampaknya
tiga pendapat di atas sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat Islam,
hanya saja penggunaan lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama
biasanya digunakan untuk makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu, Syaikh
‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari
jihad adalah definisi Ibnu Taimiyah di atas dan beliau menyatakan: Dipahami
dari pernyataan Ibnu Taimiyah di atas bahwa jihad dalam pengertian syar’i
adalah istilah yang meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan
perbuatan, perkataan dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi serta
menolak perbuatan, perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai. [5]
Turunan Al-Wala’ yang kedua adalah
ikhlas. Pengabdian yang murni hanya dapat dicapai dengan sikap Baro’ terhadap
selain Allah dan Wala’ terhadap Allah.
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
(TQS Al-Bayyina ayat 5)
-> Mukmin diperintahkan
untuk berlaku ikhlas
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama.”
”
Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.”
(TQS Az-Zummar ayat 11 dan 14)
-> Ikhlas adalah inti
ajaran Islam (Laa illaha illallah)
Konsep Wala’ dan Baro’
1)
Allah sebagai sumber >> loyalti mutlak hanya milik Allah.
2)
Rasul sebagai cara >> maksudnya bersikaplah Wala’ dan Baro’ sesuai dengan yang telah Rasulullah
contohkan.
3)
Mukmin sebagai pelaksana >> yang telah diperintahkan Allah dan dicontohkan Rasulullah.
Pelaksanaan Al-Wala’ dan Al-Baro’
tidak boleh asal-asalan.
[1] Al I’lam Bi Fawa’id Umdat Al Ahkam, Ibnu Al Mulaqqin, tahqiq
Abdulaziz Ahmad Al Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1421H, Dar Al ‘Ashimah,
10/267.
[2] Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369, kami nukil dari kitab Mauqif Al Muslim Minal Qitaal Fil Fitan, Utsman Mu’allim Mahmud cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Al Fath 41 dan majalah Al Asholah edisi 21/IV/ 15 rabi’ul awal 1420 H hal. 43
[3] Majmu’ Al Fatawa, 10/192-193
[4] ibid 10/191
[5] Al Quthuf Al Jiyaad 5
[2] Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369, kami nukil dari kitab Mauqif Al Muslim Minal Qitaal Fil Fitan, Utsman Mu’allim Mahmud cetakan pertama tahun 1416 H, Dar Al Fath 41 dan majalah Al Asholah edisi 21/IV/ 15 rabi’ul awal 1420 H hal. 43
[3] Majmu’ Al Fatawa, 10/192-193
[4] ibid 10/191
[5] Al Quthuf Al Jiyaad 5
sumber::
-
MR ana ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar