Taurits
(pewarisan) atau regenerasi sangat diperlukan dalam setiap barisan perjuangan.
Tidak hanya barisan perjuangan untuk kebaikan tapi untuk kejahatan pun mereka
yang tergabung didalamnya melakukan pewarisan. Maka dari itu, dalam dakwah
kampus pun diperlukan pewarisan. Pewarisan amanah dakwah dengan tanpa
menghilangkan jejak atau kontribusi pendahulu.
Pewarisan
ini harus cermat dan tepat. Karena tidak dapat ditutupi lagi, sekarang ini
tantangan dakwah semakin sulit padahal media yang tersedia seharusnya dapat
mempermudah kita dalam memajukan Islam. Namun, ini karena pribadinya yang
justru termanjakan oleh media tersebut. Medan dakwah sekarang ini bukan hanya
sekadar lewat dunia maya, hanya lewat obrolan singkat tanpa makna, tapi lebih
dari itu, seperti jaman dahulu, kita harus berkontribusi nyata, mencari ilmu
sebanyak-banyaknya tentang Islam dan menyampaikannya pada umat serta juga untuk
bekal kita membela diri saat ada orang yang membutuhkan informasi ke-Islam-an
atau saat ada orang yang ingin berdebat tentang ke-Islam-an.
Bekal
utama pewarisan adalah iman. Seperti yang telah disampaikan oleh Hasan Al-Bana, “Mereka telah mendengar
panggilan iman, lalu mereka pun beriman. Kita berharap Alloh berkenan
menanamkan rasa cinta kepada iman ini dan menjadikannya sebagai hiasan di hati
kita, sebagaimana Ia telah menganugerahkan hal yang sama kepada para pendahulu
kita”.
Iman mempengaruhi setiap aspek kehidupan. Terutama dalam hal
beribadah dan ghiroh kita. Saat iman dalam posisi naik, qiyamul lail rasanya
mudah dijalani, sholat dhuha sudah terasa wajib bagi kita, sholat awal waktu
bukan lagi hal sulit, membagi waktu diantara bermacam-macam organisasi yang
kita ikuti terasa lancar, ghiroh kita untuk berdakwah rasanya sudah pada
puncaknya, kita jalan ke sini jalan ke sana mencari ilmu dan membagikannya pada
ummat, ini semua berjalan hanya karena ketulusan hati kita serta dengan
kesungguhan kita, dengan harapan semata meraih ridho Allah. Namun apa yang
terjadi saat posisi iman dalam keadaan turun ? Jangankan beribadah wajib dengan
benar dan tepat, hanya saat disuruh ibu untuk menyapu saja kita langsung marah
atau malas-malasan. Saat ada panggilan dakwah, kita gunakan 1001 macam alasan untuk izin, bahkan
saat tidak izin pun kita merasa tenang-tenang saja.
Koreksi dan evaluasi ini dapat ana jabarkan karena ana pun
pernah merasakannya, merasakan saat iman up
dan down. Namun, inilah jalan dakwah,
disaat kita up atau down pasti dan seharusnya ada sahabat yang menenangkan
kita, mengajak kita kembali ke jalan yang benar. Dakwah tidak dapat kita
lakukan sendirian, Rasulullah SAW membutuhkan Abu Bakar as Siddiq untuk
menemaninya, Nabi Musa a.s. meminta izin pada Allah untuk mengajak Nabi Harun
a.s menemaninya berdakwah pada Bani Israil. Karena itu, kita membutuhkan teman
dalam berdakwah, yang dapat mengingatkan saat kita down dan dapat sama-sama bersemangat ber-tawazun saat kita up.
Inilah pentingnya pewarisan, mencari teman untuk saling mengingatkan
dan menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, sesuai firman Allah dalam surat
Al-Asr’. Untuk melanjutkan perjuangan, karena bila kita ada di jalan juang
sekolah, tak selamanya kita jadi siswa, bila kita ada di jalan juang kampus,
tak selamanya kita jadi mahasiswa, begitu selanjutnya.
Dari artikel yang pernah ana baca, ada 4 persiapan yang menjadi
bekal untuk regenerasi dakwah, yaitu :
- Persiapan Ruhiyah, da’i adalah penyeru kalimat Allah yang harus selalu menjalin hubungan yang baik dengan pemiliknya. Ia selalu memakai nama-Nya dalam seruannya: “Allahu Ghoyatuna” (Allah adalah tujuan kami). Tentu kita harus mengenal-Nya dengan baik. Kita harus tahu apa yang disukaiNya dan apa yang akan mengundang murkaNya.
- Persiapan Fikriyah, hati ikhlas tanpa pemahaman, kadang akan mengacaukan barisan dakwah, persiapan ini penting karena korban ghawzul fikri semakin banyak.
- Persiapan Syakilah (kemampuan), kita juga harus memiliki skill dalam berdakwah, kalau di zaman rasul mungkin ada Zaid bin Tsabit yang menguasai beragaai bahasa dengan detail dan fasih hanya dalam waktu 40 hari.
- Persiapan Jasadiyah, Rasulullah dan para sahabat memiliki aktivitas yang seimbang, semuanya terakomodasi dalam dakwah, sedangkan kita, kadang timpang.
“Sebuah nasihat untuk diri sendiri, sahabat, dan semua penyeru kebaikan
dimana saja berada.”